Palembang di Sumatera Selatan, yang kita kenal sekarang sebagai kota industri, merupakan pusat perdagangan internasional selama 100 tahun, dimulai dengan munculnya kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh.
Saat melakukan penelitian tentang sejarah kerajaan, para arkeolog juga menggali sejarah kota itu sendiri. Bagaimana cara para arkeolog bekerja untuk mendapatkan wawasan tentang masa lalu, dan apa kesimpulan dari penyelidikan mereka?
Menurut peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo, sebelum terjun ke lapangan, para arkeolog mempelajari sumber-sumber literatur yang ada pada subjek penelitian mereka, dalam hal ini kerajaan Sriwijaya, untuk informasi sejarah lebih lengkapnya di sejarahpedia.
“Misalnya, kita membaca [almarhum sejarawan Inggris] OW Wolters’ Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sriwijaya untuk menguji asumsinya bahwa pusat kerajaan kuno itu terletak di tempat yang kita kenal sekarang sebagai Palembang. Kami juga akan cermati prasasti yang dia gunakan sebagai bukti untuk mendukung hipotesisnya,” jelas Bambang.
Selanjutnya, peneliti akan melakukan kunjungan lapangan untuk menemukan artefak sebagai bukti potensial bahwa yang kita kenal sekarang sebagai Palembang adalah kota kuno.
Untuk dapat dikategorikan sebagai kota kuno, beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu situs tertentu, antara lain: adanya dokumen tertulis, bukti keterlibatan dalam perdagangan jarak jauh dan adanya pembagian kerja dan spesialisasi pekerja terampil. serta bukti keberadaan ruang publik.
Menurut Bambang, Palembang memenuhi semua kriteria tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa kota itu terlibat dalam perdagangan internasional termasuk keramik dari China, manik-manik dari India dan kaca dari Persia [sekarang Iran], tambahnya.
Kota kuno ini juga memiliki taman umum, didirikan pada tahun 684, stupa serta berbagai prasasti, beberapa di antaranya menunjukkan adanya pekerja yang mengkhususkan diri dalam keterampilan tertentu.
Untuk menginterpretasikan artefak, para arkeolog melakukan analisis laboratorium dan estetika.
“Misalnya, untuk menentukan kapan suatu patung dibuat, kita bisa menelusuri asal-usul gaya estetisnya. Jika mirip dengan gaya estetis Dinasti Chola di India Selatan, misalnya, maka kemungkinan dibuat pada abad kesebelas. abad, pada saat penduduk setempat berinteraksi dengan orang-orang dari kerajaan,” jelas Bambang.
Untuk menentukan usia artefak lebih tepat, tes laboratorium sangat berguna. “Misalnya, kita dapat menggunakan analisis termal untuk mengukur jumlah panas yang diserap oleh benda tertentu untuk menentukan umurnya,” katanya.
Setelah menganalisis objek dan bagaimana mereka digunakan oleh orang-orang di zaman kuno, para arkeolog dapat mulai merekonstruksi seperti apa kota kuno itu.
Bambang menyayangkan, karena alam pedesaan kota tua Sumatera Selatan, banyak bangunan dan candi yang terbuat dari bahan larut seperti batu bata dan kayu, yang akhirnya dibentuk oleh udara dan air setelah ratusan tahun, membuat kota tua hampir tidak bisa dilacak, untuk sejarah palembang yang selengkapnya di sejarah kota palembang.
“Inilah mengapa mudah bagi kita untuk membicarakan kebesaran kerajaan Mataram kuno (sekitar abad ke-17), karena candi-candinya yang terbuat dari batu padat masih terlihat. Sayangnya, sulit untuk membicarakannya. Kebesaran Sriwijaya karena alasan itu disebutkan,” terang Bambang.
Sebagian besar artefak yang ditemukan oleh para arkeolog berasal dari daerah utara Sungai Musi di Sumatera Selatan, di mana kompleks perumahan kuno didirikan di dataran tinggi, menghasilkan banyak artefak. Sedangkan bagian selatan sungai diduga merupakan rawa-rawa pada masa kerajaan Sriwijaya. Daerah telah dikeruk untuk mendirikan kota industri yang kita kenal sekarang, menghancurkan semua struktur asli.